Lawang Sewu Versi Eropa, Selamat Datang di Rila Monastery

Kalau mendengar kata Lawang Sewu, yang ada dalam benak kita pasti bangunan bersejarah dengan banyak pintu (karena Lawang Sewu dalam bahasa Indonesia sendiri artinya seribu pintu) dan angker. Kurang lebih begitulah Rila Monastery ini, bangunan bersejarah dengan banyak pintu seperti Lawang Sewu yang ada di Kota Semarang, namun untuk angkernya ya gak tau ya haha. Jujur, gue sendiri agak bingung menerjemahkan arti kata monastery, namun berdasarkan beberapa sumber, monastery sendiri bisa diartikan biara. Mungkin untuk orang awam biara itu dapat diartikan sebagai seorang yang mengabdikan dirinya untuk gereja, namun kalau gue telaah lagi, biara bisa berarti kata benda juga, itu mengapa kalau diartikan dalam bahasa Indonesia Rila Monastery ini artinya Biara Rila. Tapi, kalau pengertian gue ini salah dan kalian punya referensi lain terkait makna dalam bahasa Indonesianya, feel free untuk komentar di bawah ya. 

Sebenernya gak ada alasan khusus kenapa pada akhirnya Rila Monastery ini menjadi salah satu destinasi gue dan kawan-kawan di akhir pekan. Intinya, alasannya hanya ketika gue dan kawan-kawan menjelajahi situs google terkait tempat wisata di Bulgaria, Rila Monastery ini menjadi salah satu top list destinasi yang harus dikunjungi dan foto-foto terkait Rila Monastery ini cukup eye catching karena lokasinya yang dikelilingi oleh pegunungan Rila, jadilah gue dan kawan-kawan memutuskan untuk mengunjunginya di akhir pekan ketiga kami berada di Bulgaria. Rila Monastery ini termasuk ke dalam salah satu situ warisan UNESCO dan merupakan salah satu biara orthodoks terkenal dan terbesar yang ada di Bulgaria. Lokasinya berada di pegunungan Rila itu mengapa disebut sebagai Rila Monastery. Selain itu, dengan dikelilingi oleh pegunungan, membuat monastery ini sangat indah dipandang dan suasananya yang nyaman dan damai. 



(walaupun gue gak punya drone untuk foto dari atas, tapi dari foto-foto yang terlampir ini udah cukup terlihat dong bawah monastery ini dikelilingi pegunungan)

Setelah memutuskan untuk pergi ke Rila Monastery, gue dan kawan-kawan minta saran-saran terkait transportasi menuju kesana sama sekretarisnya ibu Dubes Astari waktu itu, yaitu mbak Putri. Mbak Putri ini seorang petualang juga dan asyik banget diajak ngobrol apalagi kalau kami minta saran-saran terkait transportasi yang akhirnya sangat memudahkan gue dan temen-temen untuk menjelajahi negara tersebut. Mbak Putri gak cuma kasih kita saran lisan melainkan buatin kita itinerary tertulis yang sampeai hari inipun masih gue simpen di kotak ajaib gue di jogja (maksudnya kotak berisi harta karun kenang-kenangan terkait semua perjalan yang udah pernah gue lalui). 

Sesuai arahan dari mbak Putri, untuk menuju Rila Monastery bisa menggunakan bus, sehingga pagi-pagi gue dan kawan-kawan memesan taksi untuk menuju terminal bus Ovcha Kupel. Sebenernya bisa menggunakan bus atau tram untuk sampai ke terminal, hanya saja karena bus rute ke Rila Monastery sangat terbatas yaitu sekali sehari, sehingga gue dan temen-temen harus sampai di terminal lebih dini biar gak tertinggal bus, jadilah menggunakan taksi yang dipesan oleh bu Ani salah satu orang lokal yang bekerja untuk KBRI Sofia. Walaupun menggunakan taksi tentu jauh lebih mahal dibandingkan menggunakan bus atau tram , tapi demi efisiensi waktu, yasudahlah ya hehe. Sesampainya di terminal, gue agak syok melihat suasana terminal yang cukup sepi, sangat jauh dengan kondisi terminal di Indonesia yang cukup carut marut. Seperti yang gue informasiin sebelumnya kalau rute ke Rila Monastery ini sangat terbatas, dan waktu itu hanya tersedia keberangkatan sekitar pukul 11.00 waktu setempat, begitupun dengan pulangnya, hanya ada satu rute. 




(begini penampakan terminal Ovcha Kupel)


Setelah menunggu hingga sekitar  pukul 11.00, akhirnya bus yang dinantikan tiba. Gue dan kawan-kawan segera masuk ke bus. Sebelum masuk, kita diharuskan untuk beli tiket dulu nih di driver-nya seharga 11 leva atau sekitar 90 ribu rupiah untuk sekali jalan. Inget, beli tiket busnya bukan di loket tapi di driver busnya langsung ya. Perjalanan menuju Rila Monastery ini memakan waktu sekitar 2 jam karena emang busnya jalannya cukup lambat, mungkin kalau lebih cepat bisa hanya sekitar satujam, tapi gak masalah sih karena pemandangan sepanjang jalan cukup menyejukkan mata. Selama perjalanan kalian akan disuguhkan dengan pemandangan pedesaan khas Eropa, hamparan ladang, pegunungan yang hijau dan bahkan orang-orang lokal yang sedang bercengkerama dipinggir jalan sambil duduk-duduk manis minum kopi. 

(beginilah pemandangan sepanjang jalan kenangan)

(kami mau ikutan mejeng didalem bus wkwk)

Sekitar pukul 13.00 waktu setempat sampailah kami di Rila Monastery setelah perjalanan panjang yang menyenangkan. Oh iya, bus yang kita naikin ini berhentinya persis bangetdi depan Rila Monastery, jadi gak perlu tuh naik angkutan umum lagi, sempurna banget gak sih ? Dan untuk menambahkan kesempurnaan jalan-jalan kali ini, tiket untuk masuk ke monastery ini gratis, alias gak ada biaya tiket masuk, duh sebagai seorang rantauan low budget, hal-hal macam ini nih yang bikin hati sangat bahagia. Tapi ingat, untuk masuk ke dalam bangunan kecuali gereja, tetap ada biaya atau tiket masuk, tapi seperti yang gue sampein sebelumnya bahwa kami adalah low budget traveller jadilah kami tidak masuk dan hanya menikmati suasana monastery dan juga masuk ke dalam gereja atau bangunan utama di tengah-tengah monastery ini. Untungnya, karena kami muslim dan berpakaian tertutup, sehingga kami sangat mudah untuk masuk ke dalam gereja, pasalnya untuk memasuki gereja harus berpakaian rapi dan tertutup. Sayang banget sih cuma gak diperbolehkan untuk foto-foto didalam gerejanya, alhasil foto-foto yang gue ambil cuma bagian luarnya aja. Tapi FYI, dalam gerejanya bagus banget, meskipun gak terlalu luas namun lukisan dan arsitekturnya indah dan berwarna. Oh iya, layaknya orang non-muslim yang masuk ke masjid untuk melihat arsitektur didalamnya, kami pun sebagai muslim juga berkesempatan melakukan hal yang sama saat memasuki gereja. Walaupun kalau gue liat, gue dan kawan-kawan gue adalah satu-satunya muslim yang berhijab masuk ke monastery dan gereja tersebut, tapi gak ada sama sekali deskriminasi ataupun pandangan dari orang lokal yang melihat ke kami dengan sinis atau aneh. Menarik gak sih ? Dengan begitu gue pun merasa sangat nyaman berkeliling dan mengambil foto bangunan-bangunan tersebut tanpa rasa risih sama sekali.

(penampakan depan gereja)




(indah banget gak sih dinding-dinding gereja yang sangat berwarna warni, setiap gambar memiliki cerita)




(gimana udah mirip Lawang Sewu di Semarang belum? haha)

(buat kalian yang beragama kristiani bisa banget nih beli pernak-pernik salib di satu-satunya gerai yang ada di dalam monastery ini. Tapi ada juga kartu pos yang bisa kalian beli sebagai oleh-oleh.)

Sangking asyiknya keliling dan foto-foto, perut kami mulai kerasa lapar, cacing-caing diperut mulai memberontak, tapi sayangnya ketika disana gak ada namanya gerai makanan, untungnya kami bawa bekal (orang indonesia banget ya bawa bekal, berasa piknik wkwk). Iya, gue dan kawan-kawan udah siapin bekal sebelum berangkat, jelas bekalnya nasi dam syukur alhamdulillahnya lauk pauk masih ada sisa sehabis acara di kedutaan, tapi gue lupa waktu itu selesai acara apa. Karena sayang bekal gak dimakan dan perut mulai lapar, jadilah kami mojok mencari bangku. Baru aja mau ngeluarin bekal, ada seorang ibu dan anaknya yang nyamperin kita dengan senyum ramahnya. Usut punya usut ternyata si Ibu bilang kalau doi dari tadi sebenarnya memperhatikan kami (tapi gue gak inget jelas percakapan apa yang diobrolin pada saat itu, tapi kalau gak salah saat itu sIbu ini juga seorang turis dan dia dengan baik hati kasih kita saran akomodasi guest house di sekitaran Rila Monastery yang recommended karena si Ibu sama anaknya pernah menginap disana). Tapi berhubung gue dan kawan-kawan gak berniat untuk menginap karena niatan cuma buat one day trip, jadi ya rekomendasi si Ibu tersebut belum pernah dicoba, mungkin next time kalau ada kesempatan kembali lagi ye kak, who knows? 

(ini tulisan alamat guest house yang direkomndasiin sama si Ibu tersebut, mungkin bisa jadi referensi kalian jika berkunjung dan berkesempatan untuk menjelajahi sekitaran Rila Monastery lebih dari sehari hehe)

Ternyata waklu berlalu sangat cepat, jam sudah mulai menunjukkan pukul 15.00 sore dimana artinya gue harus segera kembali ke temat bus mangkal, karena hanya tersedia satu rute perjalanan dalam sehari untuk menuju Sofia dari Rila Monastery. Kalau aja ketinggalan bus ini, habis sudahlah, artinya gue harus cari penginapan terdekat. Setelah berlari-lari menuju bus dengan terengah-engah, alhamdulillah masih rejeki gue dan kawan-kawan karena bus belum berangkat. Untuk harga tiket sama seperti berangkat yaitu 11 leva atau sekitar 90 ribu. Tapi, karena gue dan kawan-kawan last minute banget sampe di bus, alhasil hanya tersisa dua bangku kosong. Memang beberapa penumpang lain khususnya kaum adam secara suka rela mau ngasih kita bangkunya, cuma sebagai seorang feminis dimana gue punya prinsip "cewek itu gak lemah, bukan berarti karena gue cewek gue harus duduk. Yang berhak duduk menurut gue adalah orang-orang yang lebih membutuhkan, so karena gue tau mereka memberikan tempat duduk karena gue dan temen gue perempuan, gue gak bisa terima untuk alasan tersebut", gila juga ya prinsip gue terlalu keras wkwk. Tapi, gue akan tetap pegang teguh prinsip feminis dimana gue percaya kalau cewek dan cowok itu setara, gak ada yang lebih kuat ataupun lemah.

Back to topic, setelah sekitar 2 jam dalam perjalanan kembali ke Sofia, pada akhirnya banyak penumpang yang turun di pertengahan jalan dan barulah saat ada bangku kosong gue dan temen gue duduk. Sampai di Sofia waktu itu matahari belum terbenam, jadi perjalanan kali ini gak terlalu memakan waktu banyak karena emang kondisi ketersediaan jadwal bus yang sangat minim sehingga mengharuskan gue untuk segera kembali ke Sofia. Ini adalah kali pertama gue dan kawan-kawan jalan-jalan di akhir pekan tanpa para keluarga dan Staff KBRI Sofia. Cukup challenging karena emang banyak dari warna negera Bulgaria yang masih minim berbahasa Inggris sehingga untuk komunikasipun agak kesulitan, tapi inti dari komunikasi adalah saling memahami dan buktinya dengan kondisi tersebut gue dan kawan-kawan berhasil menyelesaikan perjalanan kali ini. Bukannya perjalanan itu akan semakin seru jika banyak hal-hal menantang didalamnya ? Jadi, untuk cerita selanjutnya, kemanakah gue akan mengajak kalian ? Tunggu postingan selanjutnya ya fellas.

Comments

Popular posts from this blog

Ketangkep Petugas Mumbai Suburban Railway (Kereta Api) di Mumbai

Ubud Surganya Bule eh Bali Maksudnya

Keseruan Rafting di Ubud Bersama Para Bule dan Menjadi Minoritas